Hari Ibu jatuh hari ini. Di hari penuh makna bagi kaum ibu tersebut, inilah beberapa cerita tentang pengorbanan, ketulusan, kesabaran, dan perjuangan membesarkan anak di tengah keterbatasannya.
MALANG - Syeeny. Singkat namanya. Seperti kebanyakan orang, tidak pernah ada yang menyangka kalau dia harus terlahir dengan kaki cacat akibat polio sehingga tak bisa berjalan sumur hidup. Di sebuah desa kecil di Pasuruan, lima puluh lima tahun lalu, Syeeny memulai hidupnya.
Saat beranjak SD, oleh orang tuanya, dia disekolahkan di YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) Malang. Tinggal di asrama yang penuh kedisiplinan dan kemandirian membuatnya menjadi sosok yang tangguh. Tak pernah tergantung kepada orang lain, juga tak ingin menyusahkan orang lain.
Didikan para gurunya di YPAC membuat Syeeny tegar. Dengan keterbatasannya, dia pun dengan yakin meneruskan pendidikan ke SMP dan SMA reguler di Pasuruan. Syeeny pun berhasil lulus dengan prestasi yang cukup bagus. "Dari YPAC juga, saya belajar banyak hal. Utamanya soal kemandirian. Itulah yang saya terapkan kepada anak saya satu-satunya setelah ayahnya meninggal," kata Syeeny saat ditemui di rumahnya, Kotalama Gang 7/63 Kota Malang, kemarin.
Kebahagiaan Syeeny berumah tangga harus berakhir 1990 lalu. Suaminya, Zaenal Arifin, meninggal dunia karena penyakit diabetes. Saat itu, putranya, Rama Andika Arifani, baru berumur lima tahun. Kematian suami yang dikenalnya sejak kecil di YPAC Malang itu membuatnya shock. "Ya wajar, Mas, kalau sedih. Namanya ditinggal suami," ungkap ibu yang senang menata rambutnya model ekor kuda ini.
Kesedihan tak berlangsung lama. Untuk menopang ekonomi keluarga, Syeeny masih bisa bersyukur karena bekerja sebagai petugas terapi musik di YPAC. Selain itu, dia merangkap petugas tata usaha (TU). Rumah tempat tinggalnya pun kebetulan menempati rumah suaminya. "Saat itu saya sudah kerja sehingga ekonomi keluarga masih bisa bergerak," katanya.
Namun, semakin lama putranya tumbuh besar dan bersekolah. Syeeny pun harus berkreasi untuk menambah penghasilan keluarga. Beberapa tahun setelah suaminya meninggal, dia mulai berjualan kerupuk dan manisan. Karena ke mana-mana dia harus memakai brace atau kursi roda, lokasi jualannya tak jauh-jauh dari rumah. Sekitar rumah dan lokasi kerjanya di YPAC. "Lumayan. Kan saya juga butuh ongkos becak kalau pulang pergi ke YPAC. Butuh juga untuk membelikan baju anak. Makanya harus punya sambilan," tutur dia.
Syeeny mengaku anaknya cukup mengerti dengan keadaan dirinya. Keterbatasan ekonomi tak membuat anaknya banyak menuntut. Malahan, Rama mulai TK hingga kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Universitas Negeri Malang (UM) tak pernah meminta uang untuk biaya sekolah selain sangu. Anak lelakinya itu selalu mendapatkan beasiswa dan bantuan pendidikan. "Terus terang, Mas, anak saya itu tak pernah minta uang dari saya untuk sekolah. Semuanya dari beasiswa," ungkap Syeeny.
Rama - yang akrab dipanggil Rambo karena tubuhnya besar - kini telah bekerja di Papua untuk sebuah proyek pembangunan milik pemerintah. Begitu lulus dari PLS UM November 2008, anaknya itu langsung bekerja. Hal itu sedikit banyak membuat Syeeny bangga. "Ya saya gembira. Tetapi, saya jarang memuji anak saya itu," ucap dia.
Mengapa anaknya begitu mengerti keadaan? Syeeny mengatakan, kuncinya selalu memberikan perhatian. Dengan segala keterbatasannya, dia berupaya memberikan perhatian kepada anaknya. Mulai taman kanak-kanak hingga SMA, Syeeny berupaya agar anaknya itu tak jauh-jauh dari dirinya.
Lokasi sekolah dipilih yang dekat dan telah dikenalnya. Dengan lokasi sekolah yang dekat, anak masih bisa istirahat usai sekolah. Selain itu, Syeeny bisa mengontrol perkembangan perilaku dan prestasi akademiknya. "Saya sekolahkan ke SD inpres dan tetangga mempertanyakan. Saya bilang biar saja. Yang penting setiap hari bisa saya didik dan perhatikan," tutur Syeeny saat mengingat kritikan beberapa tetangganya soal pilihan sekolah.
Sewaktu SMA, Syeeny pun mengarahkan anaknya itu ke Taman Madya yang lokasinya bersebelahan dengan YPAC di Jalan Tumenggung Suryo. Salah satu tujuannya adalah tetap bisa mengontrol perkembangan anaknya. "Dengan keterbatasan saya, maka saya harus bisa mendekatkan diri dengan anak saya setiap waktu. Makanya sekolahnya tidak jauh-jauh," jelasnya.
Setelah lulus kuliah, Syeeny memandang anaknya sudah matang. Sehingga bisa dilepas. Dia pun tak lagi khawatir tentang akhlak dan kedisiplinan yang dia tanamkan sebelumnya. "Saya seperti teman dengan anak saya. Saya didik anak saya mandiri. Karena itu, saya juga harus memberikan contoh hidup mandiri. Lepas dari keterbatasan yang saya miliki," tandas ibu yang punya keterampilan menyanyi ini. jawapos.com
Pangdam Jaya: Ada Umat Islam Pakai 'Amar Makruf' untuk Klaim Kebenaran
3 tahun yang lalu