SURABAYA - Kasus guru menempuh jalur patas agar lolos sertifikasi masih saja ditemukan. Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Unesa kembali menemukan dugaan ijazah S-1 instan saat penilaian guru pelajaran umum di bawah naungan Departemen Agama (Depag) kuota 2008.
''Ada beberapa ijazah yang mencurigakan. Setelah kami tanyakan, ternyata orang yang bersangkutan mengaku mendapatkan ijazah S-1 dalam tempo setahun,'' kata Rektor Unesa Prof Haris Supratno kemarin (25/11).
Sayang, dia tidak bersedia menyebutkan identitas guru-guru yang terkesan menghalalkan segala cara untuk bisa lulus sertifikasi itu. Yang jelas, tidak seharusnya jalur patas tersebut ditempuh guru demi berharap tambahan pendapatan dari tunjangan profesi pendidik (TPP). Sebagai tenaga pendidik, mereka harus memberi contoh.
Pengumuman resmi kelulusan sertifikasi guru-guru pelajaran umum di Depag kemarin ternyata tidak jauh berbeda dari hasil kelulusan guru PAI (pendidikan agama Islam) yang dilakukan tim sertifikasi IAIN Sunan Ampel. Di antara 1.583 guru yang disertifikasi, hanya 418 orang yang lulus. ''Artinya, hanya 26,4 persen guru yang berhasil lulus melalui portofolio. Sisanya ada yang ikut diklat (pendidikan latihan) dan ada yang didiskualifikasi,'' jelas Haris.
Guru yang nilainya tidak memenuhi ketentuan, sehingga harus ikut diklat, ada 1.144 orang. Kebanyakan adalah guru dari pesantren. Sedangkan 13 lainnya didiskualifikasi. Ada sejumlah alasan keputusan diskualifikasi. Salah satunya karena permasalahan ijazah instan tersebut. Yakni, ijazah didapatkan dari proses yang tidak lazim.
Selain itu, ada peserta yang masa kerjanya kurang dari lima tahun, sehingga harus dikembalikan dan tidak bisa dinilai. Menurut Haris, permasalahan utama dalam menilai guru umum dari Depag adalah ijazah. Banyak yang ijazahnya tidak relevan dengan bidang pendidikan yang digeluti. Contohnya, lulusan IAIN Sunan Ampel tapi mengajar ekonomi atau geografi. ''Otomatis, nilai yang diberikan juga rendah,'' ujarnya.
Masalah lain adalah kurangnya prestasi, pengalaman organisasi, serta pengembangan profesi yang dimiliki. Rata-rata kolom nilai untuk ketiga poin tersebut kosong. Yang ada nilainya hanya ijazah dan masa kerja. ''Jadi, kami menilainya cepat karena biasanya hanya mengisi kolom-kolom penilaian yang di atas. Yang di bawah biasanya kosong semua,'' kata Haris.
Tidak adanya penilaian langsung dari atasan juga membuat nilai para guru jeblok. Padahal, poin itu sangat penting. Tanpa ada penilaian langsung dari atasan, meski portofolionya bagus, mereka tetap tidak bisa lulus sertifikasi. ''Tampaknya, guru-guru dari Depag masih belum mengerti dengan benar apa saja yang dibutuhkan dalam proses sertifikasi,'' tegasnya.
Fakta itu berbeda dari guru-guru di bawah naungan Depdiknas. Hampir sudah tidak ada guru Depdiknas yang melakukan kesalahan tersebut dalam proses sertifikasi. Karena itu, Haris berharap Depag lebih intensif melakukan sosialisasi. Dengan penyuluhan terus-menerus, kesalahan-kesalahan sepele tidak akan terjadi lagi. jawapos.com
Pangdam Jaya: Ada Umat Islam Pakai 'Amar Makruf' untuk Klaim Kebenaran
3 tahun yang lalu