Liputan6.com : TINA, ujar Margaret Thatcher. Ia tidak sedang berpuisi. Ia membuat akronim, There Is No Alternative untuk menunjukkan kepada dunia bahwa hidup ini hanya bisa dilalui dengan pasar bebas tanpa campur tangan negara (neoliberalisme). Saat Thatcher mengatakan slogan itu pada suatu konferensi di Afrika, ia dengan sangat arogan berujar jika Afrika tidak bergabung dengan pasar bebas, maka benua ini akan hilang dari peta bumi.
Wanita besi ini, julukan yang diberikan kawan maupun lawannya, benar adanya. Afrika kini bisa dikatakan hilang dari peta bumi. Bukan karena tidak bergabung dengan pasar bebas, justru karena sebaliknya, mengikuti anjuran Thatcher. Bukan itu saja. Setelah 28 tahun pasar bebas menjadi pamain tanpa lawan tanding, dunia--termasuk pengikut setiap liberalisme--sadar bahwa ada yang salah dengan sistem ini. Kekacauan di industri keuangan saat ini membuka mata dunia bahwa liberalisme yang bebas tanpa batas bukanlah alat yang bisa membawa kemaslahatan umat manusia.
Itulah yang membuat sejumlah negara Eropa yang disponsori Prancis mendesak negara-negara di pusat kapitalisme untuk mereformasi pasar bebas, tak terkecuali tiga serangkai yang selama ini mendiktekan dan mengawal prinsip-prinsip liberalisme: Bank Dunia, IMF, dan WTO. Maka, ketika 20 negara maju dan berkembang menggelar pertemuan puncak di Washington DC, baru-baru ini, harapan pun menyeruak.
Tapi harapan itu ternyata muluk-muluk. Eropa mendapat tentangan besar dari Amerika, sebagai penjaga liberalisme yang diwariskan dari Ronald Reagan. Sebelum pertemuan ini digelar, Presiden Bush memang sudah memperlihatkan ketidakcocokan dengan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Eropa melihat pasar terlalu bebas dan karenanya perlu diatur, sementara Amerika memandang sebaliknya. Eropa menilai Amerikalah sumber malapetaka, Amerika tentu saja tak mau disebut biangkerok kekacauan. Eropa vis a vis Amerika.
Pasar bebas dengan minim intervensi masih yang terbaik, kata Presiden Bush. Inilah yang menjelaskan lahirnya komunike yang enak didengar dan dibaca tapi tak menjelaskan apa-apa mengenai bagaimana dunia ini akan diperbaiki kelak. Tak memberikan jaminan mengenai bagaimana krisis akan dihindari, paling sedikit diantisipasi. Banyak yang ditulis dalam rencana aksi yang mereka keluarkan tapi tidak menyentuh esensi masalah. Ini seperti pepesan kosong, enak dilihat tapi tak ada isinya.
Presiden Sarkozy mengakui banyaknya masalah yang mengganjal lahirnya kesepakatan bersama. "Saya berteman dengan Anerika, tapi banyak kesalahpahaman dan itu tidak mudah."
Upaya untuk mereformasi dua lembaga Bretton Woods, IMF dan Bank Dunia, juga tidak jelas arahnya. Memang, Perdana Menteri Inggris mengatakan akan lahir lembaga multilateral dengan wajah baru kelak di masa datang, tapi seperti apa dan bagaimana lembaga itu direformasi juga masih gelap. IMF dan Bank Dunia, selama ini dikuasai Amerika yang memiliki saham paling besar.
Perlu dicatat, krisis keuangan di Amerika saat ini telah menyebar bagai virus ke negara-negara yang sama sekali tidak terkait secara langsung dengan kekacauan yang dibuat oleh lembaga-lembaga keuangan di sana. Karena itu mereka berhak ikut menentukan bagaimana prekonomian global harus dijalankan. Dan untuk tujuan itu, berlawanan dengan slogan Thatcher: TAHA, There Are Hundreds of Alternatives.
Pangdam Jaya: Ada Umat Islam Pakai 'Amar Makruf' untuk Klaim Kebenaran
3 tahun yang lalu