Liputan6.com, Jakarta: Kepala Sekolah (Kepsek) Sekolah Menengah Atas Negeri 70 Pono Fadlullah menyayangkan tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolahnya. Sejauh ini, seorang siswa yang diduga sering memeras adik kelasnya sudah diperiksa dan diberi sanksi. Namun pihak sekolah masih terus menyelidiki aktor di balik kasus kekerasan selama ini.
Pihak sekolah pun telah menerima banyak pengaduan sekaligus masukan untuk menghindari kekerasan itu terulang. Hanya saja, upaya memutus mata rantai kekerasan terkendala aksi tutup mulut para siswa serta faktor historis kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, yang rawan kejahatan. Polisi mengaku belum menindak kasus kekerasan di sekolah favorit tersebut karena belum mendapat pengaduan dari pihak korban maupun sekolah [baca: Polisi Belum Terima Pengaduan Kasus SMA 70].
Ancaman sanksi dikeluarkan dari sekolah seharusnya sudah bisa membuat efek jera bagi siswa. Tapi, acap kali kekerasan itu dipicu kondisi lingkungan di sekitar sekolah yang rawan kejahatan, tawuran, dan aksi premanisme sehingga bisa jadi mempengaruhi perilaku para siswa SMAN 70. Tradisi kekerasan dan pemerasan yang terjadi di SMAN 70 Bulungan diduga sudah berlangsung sejak lama [baca: Mengungkap Kekerasan di Balik Gerbang Sekolah].
Kekerasan ini kerap kali juga diiringi pemerasan, termasuk pelecehan seksual. Berdasarkan catatan Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Margani M. Mustar mengungkapkan, sejak tahun 2004 baru dua siswa yang dikeluarkan dari sekolah. Lantaran itulah, ia mengimbau orangtua untuk berperan serta melaporkan kasus-kasus kekerasan yang menimpa anaknya.
Kendati dilakukan oleh anak di bawah umur, aksi kekerasan para siswa SMAN 70 tetaplah tergolong tindak pidana yang seharusnya segera direspons semua pihak. Dengan demikian, mata rantai kekerasan ini bisa diputus dan tak ada lagi siswa yang menjadi korban di sekolahnya sendiri.
Terkait kasus kekerasan di dalam tembok sekolah, kehidupan premanisme berbalut senioritas sebenarnya bukan hanya terjadi di SMAN 70 Bulungan. Pada tahun lalu, kasus serupa muncul di SMAN 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Siswa junior dianiaya siswa senior [baca: Geng Gazper Tak Segan Bertindak Keras].
Fadil, murid kelas satu di SMAN 34, saat itu harus rela menderita luka memar dan di tubuhnya terdapat bekas sundutan rokok. Bahkan, salah satu tulang Fadil retak. Itu semua adalah harga yang harus dibayar Fadil hanya karena posisinya masih junior.
Akhirnya, kasus yang menimpa Fadil segera teratasi setelah orangtuanya yang mencium gelagat buruk melapor ke pihak sekolah. Pihak sekolah pun berjanji akan segera membubarkan geng senior yang diperkirakan beranggotakan 200 siswa senior dan sejumlah alumni.
Apa yang terjadi di SMAN 34 seharusnya bisa menjadi contoh bagi SMA lain. Artinya, kekerasan tidak akan pernah bisa dihentikan, kecuali pihak sekolah dibantu orangtua segera bertindak tegas.
Bagaimanapun kekerasan memang tidak pernah menyelesaikan persoalan. Perhatian berbagai pihak diharapkan bisa memperbaiki para generasi penerus bangsa ini.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)
Pangdam Jaya: Ada Umat Islam Pakai 'Amar Makruf' untuk Klaim Kebenaran
3 tahun yang lalu