SURABAYA - Instruksi Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya agar sekolah tidak melakukan pemungutan sepeser pun kepada siswa SD belum sepenuhnya dilaksanakan. Buktinya, masih ada sekolah nekat meminta duit kepada wali murid untuk keperluan operasional pendidikan. Padahal, sekolah tersebut sudah mendapatkan kucuran dana bantuan operasional daerah (bopda) dan bantuan operasional nasional (bosnas).
Kemarin (4/2), Dinas Pendidikan Kota (Dispendik) Surabaya menemukan penyimpangan yang dilakukan kepala sekolah SDN Kutisari 2 dan SDN Wonorejo 3. Informasi yang diterima Jawa Pos, keduanya terbukti memberlakukan pungutan ke siswa meski dispendik telah melarangnya. "Kasus mereka sudah kami limpahkan ke badan pengawas kota (bawasko) untuk diselidiki lebih lanjut," ujar Kepala Dispendik Surabaya Sahudi.
Dana Bopda seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional sekolah. Misalnya, pembelian alat tulis kantor, biaya kegiatan peningkatan mutu, biaya pengembangan, pengadaan siswa dan prasarana, serta pemeliharaan gedung. Masing-masing sekolah mendapatkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang lengkap tentang penggunaan dana Bopda di sekolah mereka. Bahkan, Dispendik telah berkali-kali melakukan sosialisasi penggunaan Bopda kepada para kepala sekolah. Dengan adanya dana bantuan itu, pihak sekolah tidak boleh memberlakukan pungutan apa pun kepada siswa.
Untuk kasus SDN Kutisari 2 dan SDN Wonorejo 3, Sahudi tidak bersedia menjelaskan secara rinci. Namun, salah satu wali murid SDN Kutisari 2 mengatakan bahwa pungutan yang dilakukan kepala sekolah memang sudah kelewat batas. Siswa kerap dibebani membayar biaya yang tidak masuk akal. "Sedikit-sedikit ada pungutan. Untuk beli gorden saja ada tarikan," ujarnya.
Karena tindakan yang sudah kelewat batas itulah, pihak wali murid melapor dispendik secara diam-diam. Mereka sudah tidak tahan dengan adanya pungutan liar yang tidak jelas peruntukannya itu.
Berdasar laporan itulah dispendik turun melakukan penyelidikan dan menemukan bukti seperti yang dikeluhkan wali murid. Kasus ini akhirnya dilimpahkan ke Bawasko untuk dilakukan penyelidikan lebih dalam. Selama dalam penyelidikan ini, kedua kepala sekolah itu dinonjobkan.
Sejatinya, pungli di sekolah tidak hanya terjadi kali ini saja. Wali murid di sejumlah sekolah pun semakin berani untuk melaporkan berbagai bentuk penyimpangan keuangan dana operasional. Selain SDN Kutisari 2 dan SDN Wonorejo 3, laporan juga muncul dari wali murid SDN Kertajaya.
Kenekatan SDN Kertajaya memberlakukan pungutan kepada orang tua siswa diduga terjadi dalam jangka waktu cukup lama. Seluruh siswa dari semua level pun diwajibkan untuk membayar uang tarikan tiap bulan sesuai kesepakatan. Besarnya pungutan yang diberikan itu tidak sama. Awalnya, pihak sekolah mematok Rp 85 ribu per siswa. Namun, untuk siswa kelas 2, pungutan itu ditawar hingga menjadi Rp 50 ribu.
Wali murid sejatinya tidak setuju dengan adanya pungutan berlabel dana investasi sekolah itu. Apalagi, sekolah sudah mendapat kucuran dana bantuan operasional daerah (Bopda) dan bantuan operasional nasional (Bopnas). "Seharusnya, kami tidak perlu membayar lagi," ujar salah seorang wali murid di SDN Kertajaya kemarin (4/12).
Alih-alih tidak membayar, wali murid di SDN Kertajaya malah dibebani pungutan yang jumlahnya juga malah besar. Sebelum ada Bopda dan Bopnas, wali murid hanya dikenakan Rp 73 ribu per bulan. "Katanya, kami harus membayar karena anggaran sekolah mengalami defisit," imbuhnya.
Menurut dia, pada saat pengumuman penarikan "dana investasi" kepala sekolah SDN Kertajaya tidak langsung memberi pengarahan. Justru pihak komite sekolah yang banyak berperan. Namun, dia yakin tindakan itu hanya sebagai alasan agar bisa cuci tangan jika ada masalah di kemudian hari. "Komite sekolah itu wakil wali murid. Kok justru ikut-ikutan menyetujui pungutan yang sudah dilarang," ujarnya.
Sebenarnya, pungutan di SDN Kertajaya tidak hanya terjadi kali ini saja. Saat penerimaan siswa, para murid baru juga diminta membayar uang masuk sebesar Rp 2 juta. Kala itu, penarikan tersebut memantik reaksi dan mendorong pihak sekolah untuk mengumpulkan wali murid. Akhirnya disepakati bahwa wali murid yang tidak rela boleh mengambil kembali uangnya. Namun, tidak ada orang tua yang melakukan hal tersebut. "Takut kalau anak-anak nanti dipersulit dalam proses belajar mengajar," tutur salah seorang wali murid.
Saat dikonfirmasi, Kepala Dispendik Sahudi berjanji akan menyelidiki laporan itu. "Jika terbukti bersalah, mereka pasti diturunkan dari kepala sekolah," katanya. "Kami sudah menyampaikan berkali-kali bahwa sekolah dilarang memungut uang apa pun dari siswa," tegasnya.
Dia menambahkan, sebelum kasus SDN Kutisari 2 dan SDN Wonorejo 3 mencuat, pihaknya telah menjatuhkan sanksi kepada tujuh kepala SD. Semuanya melakukan penyelewengan dana Bopda dan memberlakukan pungutan kepada siswa. Saat ini, tujuh kepala sekolah itu telah dimutasi dan dijadikan guru biasa.
Sahudi juga telah membuat surat rekomendasi pada Bawasko yang terkait kasus pungutan di SD. Surat itu berisi permintaan agar kepala sekolah yang terbukti bersalah dalam kasus pungutan langsung dimutasi menjadi guru biasa. Itu untuk yang benar-benar bersalah. Sebab, ada juga kepala sekolah yang kurang memahami proses administratif saja, sehingga melakukan kekeliruan. "SD kan beda dengan SMP dan SMA. Di sana tidak ada personal khusus yang mengurusi soal persoalan administratif." terang mantan kepala sekolah SMAN 15 ini.
Di level sekolah menengah, para guru adalah murni tenaga pengajar. Urusan administrasi dan keuangan ada petugas yang menangani. Fungsi kepala sekolah hanya membawahi saja.
Kondisi itu berbeda dengan sekolah dasar. Para guru di kelas bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan pendidikan. Selain mengajar, mereka kerap membantu urusan administrasi sekolah. "Kondisi itulah yang membuat mereka tidak fokus. Akhirnya terjadi kesalahan,'' ucapnya.
Kesalahan juga terjadi karena banyaknya kepala SD yang menyepelekan masalah administrasi. Petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) tidak dipahami dengan benar. Akibatnya, banyak pelanggaran yang menyebabkan kepala sekolah terjerat masalah.
Di bagian lain, kepala Bawasko Hadi Siswanto menyatakan bahwa saat ini kasus SDN Kutisari 2 dan SDN Wonorejo 3 masih dalam penyelidikan. Pihaknya masih melakukan pemanggilan pada kedua kepala sekolah dan mengumpulkan bukti-bukti. "Kami belum bisa memutuskan apakah keduanya bersalah atau tidak," kata Hadi. jawapos.com
Pangdam Jaya: Ada Umat Islam Pakai 'Amar Makruf' untuk Klaim Kebenaran
3 tahun yang lalu